- Featured Post 1 with Small Thumbnail
- Featured Post 2 with Small Thumbnail
- Featured Post 3 with Small Thumbnail
- Featured Post 4 with Small Thumbnail
Informasi PPDB
Informasi PPDB dan Persyarata Daftar Ulang Siswa siswi baru More
Gallery Santri Al Ihsan IBS
Santri Akhwat Al Ihsan Islamic Boarding School Cimencrang More
Malam Bina Iman dan Taqwa
Kegiatan Malam Bina Iman dan Taqwa di Al Ihsan IBS rutin diadakan setiap malam hari libur nasional More
Suasana Makan Santri Ikhwan
Santri-santri Al Ihsan IBS biasa melaksanakan acara makan bersama pada pagi, siang dan malam hari ba'da magrib More
Rabu, 01 April 2020
Matematika Kelas 7
SEGITIGA
A. Jenis-jenis Segitiga
1. Jenis segitiga ditinjau dari sisi-sisinya
a. Segitiga sembarang
b. Segitiga sama kaki
c. Segitiga sama sisi
2. Jenis segitiga ditinjau dari besar sudutnya
a. Segitiga lancip
b. Segitiga siku-siku
c. Segitiga Tumpul
TUGAS
1. Gambarlah semua jenis segitiga dan tuliskan lengkap dengan keterangannya!
2. Perhatikan di sekelilingmu, kemudian sebutkanlah benda-benda atau tempat-tempat yang menunjukkan bentuk segitiga!
Read more...
A. Jenis-jenis Segitiga
1. Jenis segitiga ditinjau dari sisi-sisinya
a. Segitiga sembarang
b. Segitiga sama kaki
c. Segitiga sama sisi
2. Jenis segitiga ditinjau dari besar sudutnya
a. Segitiga lancip
b. Segitiga siku-siku
c. Segitiga Tumpul
TUGAS
1. Gambarlah semua jenis segitiga dan tuliskan lengkap dengan keterangannya!
2. Perhatikan di sekelilingmu, kemudian sebutkanlah benda-benda atau tempat-tempat yang menunjukkan bentuk segitiga!
Senin, 30 Maret 2020
MATERI PJJ SBK KELAS 7,8 DAN 9 (31 MARET 2020)
Bismillah.
Materi PJJ SBK KELAS 7
Selasa, 31
Maret 2020
Teka-Teki Silang
Petunjuk : Carilah
10 Nama Alat Musik Tradisional Indonesia
Rabu, 25 Maret 2020
MATERI FIQIH KELAS 8
MATERI KELAS 8
SHALAT JAMA’ DAN QOSHOR
Shalat
Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan
shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim,
atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan
shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya
di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu
kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh
dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat
jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana
firman-Nya ;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي
الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا
لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
”Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu (QS: Annisa: 101),
Dan
itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat
Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat
bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang
sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang
muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan
menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat
Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim
menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia
berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ – صلى الله عليه وسلم - يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظُّهرِ وَالعَصرِ
إِذَا كَانَ عَلَى ظَهرِ سَيرٍ، وَيَجمَعُ بَينَ المَغرِبِ وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa
menjamak antara zuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga
menjamak antara maghrib dan isya.” (HR. Al-Bukhari no. 1107)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu dia
berkata:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ
فِي السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ
الْعِشَاءِقَالَ سَالِمٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ وَيُقِيمُ الْمَغْرِبَ
فَيُصَلِّيهَا ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ ثُمَّ قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيمَ
الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يُسَبِّحُ
بَيْنَهُمَا بِرَكْعَةٍ وَلَا بَعْدَ الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍ حَتَّى يَقُومَ مِنْ
جَوْفِ اللَّيْلِ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam jika beliau tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menangguhkan shalat
maghrib dan menggabungkannya bersama shalat isya”.
Salim (anak Ibnu Umar) berkata, “Dan Abdullah
bin Umar radhiallahu anhu juga mengerjakannya seperti itu bila beliau
tergesa-gesa dalam perjalanan. Beliau mengumandangkan iqamah untuk shalat
maghrib lalu mengerjakannya sebanyak tiga raka’at kemudian salam. Kemudian
beliau diam sejenak lalu segera mengumandangkan iqamah untuk shalat isya,
kemudian beliau mengerjakannya sebanyak dua rakaat kemudian salam. Beliau tidak
menyelingi di antara keduanya (kedua shalat yang dijamak) dengan shalat sunnah
satu rakaatpun, dan beliau juga tidak shalat sunnah satu rakaatpun setelah isya
hingga beliau bangun di pertengahan malam (untuk shalat malam).” (HR. Al-Bukhari
no. 1109)
Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga
dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas,
“Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan
alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari
sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan
menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah
sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk
menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun
batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama.
Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah
sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam syafii dan mayoritas ulama: bahwa jarak
perjalanan yang boleh diqasar adalah 4 burud atau 88 kilometer. (Bidayatul
mujtahid 1/178)
Seorang
musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya dan berakhir bila ia
telah sampai kembali di rumahnya (dalam kurun masa tiga hari). Ibnu Munzir
mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam
musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat
Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat
dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR:
Bukhari Muslim).
Menurut
syafi'iyah seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari
empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya
empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal
selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun
seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan
dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau
tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh
hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena
ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami
ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar
shalatnya
Adapun
pendapat yg lain boleh menjama' dan mengqashar bagi musafir selama safarnya
tanpa batasan berapa lama krn ayat dan hadis umum tidak membatasi lamanya
safar... selagi musafir maka bolehlah dia mendapat keringanan utk menjama' dan
mengqashar shalat.
(Fiqhussunah I/241).
(Fiqhussunah I/241).
Seorang
musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia
boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam
yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
MATERI FIQIH KELAS 9
MATERI
KELAS 9
Fiqih
Qurban
Berkurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada
semenjak manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban.
Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak
qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:
وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ
قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ
ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ
ٱلْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban
keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan
anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ
إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kemudian qurban
ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan
ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan.
1.
Disyariatkannya
Qurban
Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada
Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan
yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat
kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari
dua sisi.
Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana
memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim.
Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT
kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam
Islam:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari
Allah SWT. Allah menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang
diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih
binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban
merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW
bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
2.
Definisi
Qurban
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya
pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai
sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam
sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing
yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari
‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih
di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan
syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
3.
Hukum
Qurban
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang
menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْۗ
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
4. Binatang yang Boleh Diqurbankan
Adapun
binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak
(Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang
selain itu seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban.
Allah SWT berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسْلِمُوا۟ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (QS Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Dari Jabir bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama
Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh
orang” (HR Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup
umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: Cacat
matanya, sakit, pincang dan kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari
dan Muslim).
Hadits lain: “Janganlah kamu menyembelih binatang ternak
untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika sukar didapati,
maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari domba.” (HR Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur
dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun.
Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah SAW
berqurban dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan
lebih gemuk.
5.
Waktu
Penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari
Nahr, yaitu Raya ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan
shalat ‘Idul Adha bagi yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak
melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti jamaah haji dapat dilakukan setelah
terbit matahari di hari Nahr. Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama,
yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan
adalah tiga hari, yaitu hari raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri
dengan tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali
RA, Abu Hurairah RA, Anas RA, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa
hari-hari penyembelihan adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka
lakukan tidak mungkin hasil ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari
Rasulullah SAW (Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hambali juga
diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari,
Hari Raya ‘Idul Adha dan 3 Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan
ditandai tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana
disebutkan Rasulullah SAW: “Semua hari Tasyrik adalah hari
penyembelihan” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami:” Hadits
ini para perawinya kuat”. Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang
kuat adalah pendapat mazhab Syafi’i.
6.
Tata
Cara Penyembelihan Qurban
Berqurban sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan
qurban, sehingga menurut jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya
dengan memberikan uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban
tersebut, tanpa ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah
adanya penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir
miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya,
bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan
nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak
pada hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika
seseorang berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan
ditempat lain, maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang
berqurban, jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan
penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas RA: “Hadirlah
ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari
mulai awal darah keluar”.
Ketika seorang muslim hendak menyembelih hewan qurban, maka
bacalah: “Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut
namanya), sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: “ضَحَّى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ
أَقْرَنَيْنِ قَرَّبَ أَحَدُهُمَا فَقَالَ بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ
هَذَا مِنْ مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَقَرَّبَ الآخَرُ فَقَالَ: “بِسْمِ
اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ عَمَّنْ وَحَّدَكَ مِنْ أُمَّتِي
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan
bertanduk. Beliau menyembelih yang seekor seraya berkata: “Bismillah. Ya,
Allah! Ini adalah dariMu dan untukMu, kurban dari Muhammad dan keluarganya.”
Lalu Beliau menyembelih yang seekor lagi seraya berkata: “Bismillah. Ya, Allah!
Ini adalah dariMu dan untukMu, qurban dari siapa saja yang mentauhidkanMu dari
kalangan umatku.”