MATERI KELAS 8
SHALAT JAMA’ DAN QOSHOR
Shalat
Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan
shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim,
atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan
shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya
di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu
kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh
dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat
jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana
firman-Nya ;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي
الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا
لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
”Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu (QS: Annisa: 101),
Dan
itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat
Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat
bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang
sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang
muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan
menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat
Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim
menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia
berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ – صلى الله عليه وسلم - يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظُّهرِ وَالعَصرِ
إِذَا كَانَ عَلَى ظَهرِ سَيرٍ، وَيَجمَعُ بَينَ المَغرِبِ وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa
menjamak antara zuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga
menjamak antara maghrib dan isya.” (HR. Al-Bukhari no. 1107)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu dia
berkata:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ
فِي السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ
الْعِشَاءِقَالَ سَالِمٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ وَيُقِيمُ الْمَغْرِبَ
فَيُصَلِّيهَا ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ ثُمَّ قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيمَ
الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يُسَبِّحُ
بَيْنَهُمَا بِرَكْعَةٍ وَلَا بَعْدَ الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍ حَتَّى يَقُومَ مِنْ
جَوْفِ اللَّيْلِ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam jika beliau tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menangguhkan shalat
maghrib dan menggabungkannya bersama shalat isya”.
Salim (anak Ibnu Umar) berkata, “Dan Abdullah
bin Umar radhiallahu anhu juga mengerjakannya seperti itu bila beliau
tergesa-gesa dalam perjalanan. Beliau mengumandangkan iqamah untuk shalat
maghrib lalu mengerjakannya sebanyak tiga raka’at kemudian salam. Kemudian
beliau diam sejenak lalu segera mengumandangkan iqamah untuk shalat isya,
kemudian beliau mengerjakannya sebanyak dua rakaat kemudian salam. Beliau tidak
menyelingi di antara keduanya (kedua shalat yang dijamak) dengan shalat sunnah
satu rakaatpun, dan beliau juga tidak shalat sunnah satu rakaatpun setelah isya
hingga beliau bangun di pertengahan malam (untuk shalat malam).” (HR. Al-Bukhari
no. 1109)
Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga
dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas,
“Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan
alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari
sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan
menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah
sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk
menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun
batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama.
Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah
sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam syafii dan mayoritas ulama: bahwa jarak
perjalanan yang boleh diqasar adalah 4 burud atau 88 kilometer. (Bidayatul
mujtahid 1/178)
Seorang
musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya dan berakhir bila ia
telah sampai kembali di rumahnya (dalam kurun masa tiga hari). Ibnu Munzir
mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam
musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat
Dhuhur bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat
dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR:
Bukhari Muslim).
Menurut
syafi'iyah seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari
empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya
empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal
selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun
seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan
dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau
tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh
hari beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena
ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami
ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar
shalatnya
Adapun
pendapat yg lain boleh menjama' dan mengqashar bagi musafir selama safarnya
tanpa batasan berapa lama krn ayat dan hadis umum tidak membatasi lamanya
safar... selagi musafir maka bolehlah dia mendapat keringanan utk menjama' dan
mengqashar shalat.
(Fiqhussunah I/241).
(Fiqhussunah I/241).
Seorang
musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia
boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam
yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.